Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

Delapan Dimensi dan Dosa Lama Pendidikan Kita

 



Oleh: Ramadhan Al Faruq

LTN, Opini |

Ganti menteri, ganti kebijakan. Sarjana membludak, pengangguran menumpuk. Gelar akademik menjulang, tapi moral bangsa tak kunjung bangkit. Di jalanan teriak perlawanan, di parlemen jadi babu kekuasaan. Pendidikan jalan terus, tapi perbudakan tak juga usai. Inilah negeri kita!


POTONGAN-POTONGAN kalimat itu bukan cuma bentuk satire, tetapi potret getir yang terus terulang dari generasi ke generasi. Jika semua dikumpulkan, benang merahnya terang: pendidikan kita gagal melahirkan manusia merdeka yang memerdekakan.


Mungkin Anda tak sepakat, tapi tak bisa menampik kenyataan bahwa bangsa ini sedang rusak mentalnya; di segala lini sosial, politik, hukum, pendidikan, budaya, bahkan ekonomi yang kini berada di tubir jurang kegelisahan.


Sudah terlalu lama bangsa ini digerogoti kerakusan orang-orang terdidik yang tak pernah selesai dididik menjadi manusia seutuhnya. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bukan lagi kejahatan tersembunyi, melainkan menjadi ritus harian dari pusat kekuasaan hingga ruang kelas. Dari gedung DPR sampai meja guru, aroma pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan semakin menyengat.


Lalu untuk siapa pendidikan ini digerakkan? Ke mana bangsa ini hendak dibawa?


Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan kembali menggulirkan narasi "pembaruan" dengan mengusung konsep Delapan Dimensi Profil Pelajar Pancasila. Kampanye besar diluncurkan, seminar diselenggarakan, buku panduan dicetak. Seolah angin segar sedang bertiup, membawa harapan akan lahirnya generasi unggul di masa depan. 


Tapi delapan dimensi ini tak boleh berhenti sebagai narasi indah di atas kertas. Ia harus menjadi api perlawanan, bukan hanya proyek ganti rezim. Ia harus menjadi cetak biru yang melahirkan manusia kritis, berani melawan kebusukan, bukan hanya kendaraan pemborosan anggaran lewat sosialisasi dari pusat ke daerah.


1. Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan YME


Dimensi ini tak cukup hanya melahirkan generasi berpenampilan religius yang fasih melafalkan ayat-ayat suci. Pendidikan sejati harus menumbuhkan keberanian moral untuk menyatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah; tanpa pandang bulu, sekalipun pelakunya pejabat tinggi. Religiusitas tanpa keberanian melawan ketidakadilan hanyalah topeng belaka.


2. Berkebhinekaan Global (Kewargaan Aktif)


Dimensi ini semestinya menumbuhkan kesadaran bahwa menjadi warga negara berarti berani bersuara. Bukan hanya hafal sila Pancasila, tetapi berani menggugat kebijakan yang menindas rakyat. Menjadi warga negara bukanlah menjadi budak negara. Demokrasi membutuhkan keberanian bertanya, menggugat, bahkan menolak ketika keadilan dipermainkan.


 3. Bernalar Kritis


Inilah dimensi yang menjadi rem penting terhadap hegemoni kekuasaan. Generasi yang bernalar kritis akan mampu mencium kebusukan di balik retorika pembangunan, menggugat jargon digitalisasi yang menindas, serta membongkar ketimpangan yang dikemas sebagai pertumbuhan. Mereka akan menjadi duri di tenggorokan para bedebah yang menjarah masa depan.


 4. Kreatif


Kreativitas bukan hanya membuat konten lucu yang viral. Ia harus menjadi daya cipta dan daya lawan terhadap kepalsuan, tirani, dan kesewenang-wenangan. Pendidikan yang mencetak pemuja kekuasaan hanya akan memperpanjang perbudakan intelektual. Kita butuh pembaru, bukan pengikut.


 5. Kolaboratif

Kolaborasi tak boleh dimaknai sebagai “kerja sama demi proyek penguasa.” Ia harus berarti gotong royong membangun kekuatan rakyat. Pendidikan harus menumbuhkan generasi yang mandiri, yang tetap tegak walau sistem menyingkirkan mereka, yang tetap berjalan lurus walau arus menentangnya.


 6. Mandiri


Kemandirian bukan sekadar bisa hidup sendiri. Ia adalah keberanian untuk tidak ikut arus, tidak menjilat kekuasaan, tidak tergantung pada birokrasi. Mandiri berarti setia pada nilai, bukan pada kenyamanan.


 7. Sehat Fisik dan Mental


Dimensi ini tak cukup hanya melahirkan generasi bertubuh atletis. Yang lebih mendesak adalah ketahanan mental dalam menghadapi tekanan politik, sosial, dan ekonomi. Mereka yang tak takut dibungkam, tak tumbang saat ditekan, dan tak bisa dibeli, adalah wajah asli manusia sehat di zaman ini.


8. Kemampuan Berkomunikasi


Bukan hanya pintar bicara di podium, tapi berani menyuarakan kebenaran, menggugat ketidakadilan, dan menyebarkan semangat perlawanan. Ini tentang keberanian berkata “tidak” pada kekuasaan, tentang keteguhan bertanya “kenapa?” saat rakyat disakiti dan kebenaran disembunyikan.

Jika delapan dimensi ini dijalankan sepenuh hati, hasilnya bukan sekadar lulusan sekolah atau sarjana. Hasilnya adalah manusia merdeka yang tidak bisa dibeli, tidak bisa ditakut-takuti, dan tidak akan diam ketika rakyat diinjak-injak.


Pendidikan sejati bukan untuk melahirkan budak-budak naif yang taat tanpa nalar, tapi generasi cerdas yang memimpin perubahan. Dan perubahan sejati hanya lahir dari keberanian untuk menolak tunduk pada kebusukan.

Penulis Ramadhan Al Faruq


Islam pernah mengingatkan dengan tegas:


“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah....”

(QS. Ali Imran: 110)


Artinya, pendidikan harus bermuara pada lahirnya generasi terbaik yang berani memperjuangkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran. Yang melawan kezaliman, membongkar kebiadaban, dan menjaga integritas bangsa dari cengkeraman kekuasaan yang bejat.


 Penulis adalah alumni IAIN Ar-Raniry, Juru Bicara Kaukus Peduli Integritas Pendidikan Aceh.







Klik Pendaftaran MAPABA PMII RAYA



Selasa, 08 Juli 2025

Pendidikan di Aceh Masih Perlu Perjuangan Serius

 

Teguh Ardiansyah, Ketua PK PMIII USM


LTN, Opini|Pendidikan di provinsi Aceh telah menunjukkan kemajuan dalam hal akses pendidikan dasar dan capaian rapor SPM. Namun, tantangan mutu, kesinambungan jenjang, ketimpangan daerah, serta hambatan sosial-ekonomi masih besar. Masih dibutuhkan perjuangan serius dan terarah – tidak hanya membangun sarana, tapi juga peningkatan kualitas guru, regulasi akses dan dukungan bagi anak-anak, serta kolaborasi lintas pemangku kepentingan.


Pendidikan di Aceh saat ini masih menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan perhatian serius. Meskipun beberapa kebijakan seperti program beasiswa “Aceh Carong” dan peningkatan anggaran pendidikan telah dijalankan, namun kenyataan di lapangan belum sepenuhnya mencerminkan kemajuan yang merata.


Masih banyak sekolah di pelosok Aceh yang kekurangan fasilitas, guru yang belum memenuhi kualifikasi, dan anak-anak yang kesulitan mengakses pendidikan karena faktor ekonomi atau geografis. Ketimpangan antara daerah kota dan desa begitu jelas, menciptakan jurang kualitas yang cukup tajam.


Selain itu, nilai-nilai budaya dan agama yang kuat di Aceh sebenarnya bisa menjadi fondasi pendidikan yang unggul dan berkarakter. Namun, hal ini belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam pengembangan kurikulum lokal yang kontekstual dan relevan.


Pendidikan di Aceh harus bergerak maju, bukan hanya dari sisi infrastruktur, tapi juga dari segi kualitas guru, literasi digital, dan penguatan karakter siswa. Perlu sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar menjadi jalan perubahan dan kemajuan Aceh.







Klik Pendaftaran MAPABA PMII RAYA


Klik Formulir pendaftaran anggota Wartawan Media LTN 








Jumat, 04 Juli 2025

KPU & Bawaslu Jangan Pasif Setelah Pemilu Usai

 


LTN, Lhokseumawe | Pemilu memang telah usai namun pekerjaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) belum boleh selesai. Keduanya bukan sekadar penyelenggara dan pengawas teknis lima tahunan, tetapi institusi demokrasi yang memiliki tanggung jawab jangka panjang dalam membangun kualitas politik elektoral dan menjaga integritas demokrasi.


Sering kali setelah hiruk-pikuk pemilu selesai terlebih setelah pelantikan. Peran KPU dan Bawaslu nyaris senyap. Mereka seperti kembali ke balik layar, padahal masyarakat masih membutuhkan kehadiran mereka dalam ranah pendidikan politik, evaluasi penyelenggaraan dan penataan sistem elektoral.


Pertama, KPU tidak cukup hanya menyusun dan menjalankan tahapan pemilu. Setelah pemilu, KPU semestinya aktif melakukan evaluasi menyeluruh, menyampaikan laporan terbuka kepada publik, dan menggagas reformasi sistem kepemiluan jika diperlukan. Misalnya, evaluasi soal Daftar Pemilih Tetap (DPT), penyebaran logistik, ataupun mekanisme perhitungan suara berbasis teknologi yang sering kali menimbulkan kebingungan atau kecurigaan.


Kedua, Bawaslu harus terus berperan sebagai penjaga integritas politik, bahkan di luar masa kampanye. Banyak praktik politik transaksional, pelanggaran etika pejabat terpilih, atau ketidaknetralan aparatur negara yang perlu diawasi secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, Bawaslu idealnya tidak hanya bertindak reaktif berdasarkan laporan, melainkan proaktif dalam membangun sistem pengawasan partisipatif bersama masyarakat sipil.


Selain itu, peran KPU dan Bawaslu dalam pendidikan politik masih minim. Keduanya cenderung absen dari ruang-ruang diskursus publik pasca pemilu. Padahal, konsolidasi demokrasi membutuhkan pendidikan pemilih yang berkelanjutan, bukan musiman. Masyarakat harus terus diberi pemahaman tentang hak-hak politiknya, mekanisme pengawasan, serta pentingnya partisipasi politik yang cerdas.


Oleh karena itu, pasifnya lembaga KPU dan Bawaslu setelah pemilu menjadi kemunduran demokrasi yang tidak boleh dibiarkan. Demokrasi bukan hanya soal siapa menang dan kalah di bilik suara, tetapi juga soal bagaimana institusi terus bekerja memastikan sistem berjalan jujur, adil, dan transparan di luar momentum elektoral.


Sebagai lembaga negara independen, KPU dan Bawaslu memiliki legitimasi untuk terus aktif di antara dua pemilu. Jika mereka hanya muncul saat pemilu, lalu lenyap begitu kontestasi usai, maka mereka bukan pengawal demokrasi sejati, melainkan sekadar panitia event lima tahunan.

Andri Wahyudi (Pemerhati Kebijakan Publik)

_________________________________________


Kamis, 03 Juli 2025

Kekurangan guru akibat pensiun massal di Aceh

Rosmaini
Mahasiswi Universitas Serambi Mekkah



LTN, Opini |Kekurangan guru akibat pensiun massal di Aceh menjadi masalah yang patut mendapat perhatian serius.


 Fenomena ini tidak hanya mengurangi jumlah tenaga pendidik yang tersedia, tetapi juga berdampak langsung terhadap kualitas pendidikan, terutama di sekolah-sekolah negeri dan wilayah terpencil. 


Ketika banyak guru pensiun dalam waktu yang bersamaan tanpa diimbangi dengan rekrutmen tenaga pengajar baru yang memadai, beban kerja guru yang tersisa akan meningkat. 


Hal ini dapat memengaruhi efektivitas pengajaran, memperbesar peluang terjadinya pembelajaran yang tidak optimal, dan bahkan meningkatkan angka putus sekolah.

Baca juga|Pelatihan Bahasa Isyarat di UIN Sultanah Nahrasiyah: Membangun Empati dan Literasi Komunikasi Inklusif

Situasi ini juga menunjukkan lemahnya perencanaan tenaga kerja di sektor pendidikan.


 Seharusnya data pensiun sudah bisa diprediksi jauh hari sehingga pemerintah daerah dapat menyiapkan langkah-langkah antisipatif, seperti membuka formasi PPPK atau CPNS sesuai kebutuhan riil di lapangan. 


Namun, yang terjadi sering kali adalah keterlambatan kebijakan, birokrasi yang berbelit, dan kurangnya alokasi anggaran untuk pengangkatan guru baru.

Baca juga|Kolaborasi Tujuh Perguruan Tinggi, ABDIKAMI Berikan Penyuluhan Kepada Kader PKK di Kecamatan Peusangan

Selain itu, distribusi guru yang tidak merata memperparah masalah ini.


 Daerah-daerah pedalaman atau pulau-pulau kecil di Aceh lebih merasakan dampaknya karena sejak awal sudah kekurangan guru, dan ketika terjadi pensiun massal, kekosongan semakin sulit diatasi.


 Jika tidak segera direspon, situasi ini dapat memperlebar kesenjangan pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.


Kekurangan guru sebenarnya bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pendidikan, misalnya dengan menata ulang rekrutmen, meningkatkan kualitas pelatihan guru baru, dan memanfaatkan teknologi pendidikan.


 Namun, semua itu memerlukan komitmen politik dan keberpihakan anggaran yang nyata dari pemerintah.


 Tanpa langkah cepat dan strategis, dampak kekurangan guru ini akan terus bergulir dan membawa konsekuensi jangka panjang bagi generasi muda Aceh.


Oleh: Rosmaini, Mahasiswi Universitas Serambi Mekkah

Sabtu, 28 Juni 2025

Seorang Pemimpin Harus Bisa Memperbaiki Bahasa, Baru Bisa Memperbaiki Daerah

 


LTN, Aceh Tenggara| Dalam beberapa hari terakhir, jagat media sosial, khususnya Facebook, diramaikan dengan pernyataan bernada kasar dan hinaan yang dilontarkan oleh seorang pimpinan daerah kepada jurnalis dan aktivis. Pernyataan seperti “pekak kadang ko” (yang dalam tafsir bebas berarti: bodoh mungkin kau) menjadi sorotan publik karena diucapkan langsung oleh seorang kepala daerah.


Ungkapan yang tidak etis ini menimbulkan gelombang reaksi dari masyarakat sipil, aktivis, hingga kalangan jurnalis. Bagi kami, ini bukan sekadar persoalan komunikasi personal, tapi cerminan dari krisis etika dan kepemimpinan.


Sebagai pemimpin, seseorang seharusnya menjadi panutan, bukan malah memberi contoh buruk dalam berbahasa. Bahasa mencerminkan karakter, dan karakter adalah fondasi utama dalam membangun sebuah daerah. Ketika bahasa seorang pemimpin sudah kotor dan arogan, bagaimana ia bisa dipercaya untuk memperbaiki dan memajukan masyarakat yang dipimpinnya?


Saat ini, nilai-nilai luhur seperti sopan santun, adab berbicara, dan penghargaan terhadap sesama seolah mulai terkikis. Kita mulai terbiasa mendengar pejabat berucap kasar, merendahkan pihak lain, dan merasa superior karena posisinya.


Ketua LSM Kaliber Aceh, Zoel Kenedi, menyayangkan sikap tersebut. Menurutnya, jika seorang bupati atau pimpinan tidak mampu menjaga tutur katanya, maka ia juga tidak akan mampu menjaga martabat daerah yang dipimpinnya. Pemimpin bukan sekadar jabatan struktural, tapi simbol moral masyarakat.


“Kalau bahasanya saja rusak, bagaimana bisa memperbaiki daerah? Percuma Aceh Tenggara punya kekayaan alam dan keanekaragaman hayati kalau tidak ditopang oleh sumber daya manusia yang berakhlak dan berintegritas,” ujar Zoel.


Di era digital seperti sekarang, setiap ucapan pemimpin bisa terekam, disebarkan, dan menjadi konsumsi publik. Tidak ada ruang untuk sembunyi. Media sosial menjadi cermin dari siapa kita sebenarnya. Dan ketika pemimpin berbicara layaknya preman pasar, maka citra pemerintahannya pun akan tercoreng.


Rakyat butuh pemimpin yang bijaksana, bukan yang mudah tersulut emosi dan membalas kritik dengan caci maki. Rakyat perlu sosok yang merangkul, bukan yang membentak dan menghina. Kepemimpinan itu bukan tentang kekuasaan semata, tapi tanggung jawab moral untuk menjaga martabat dan nilai-nilai daerah.


“Jangan merasa diri hebat hanya karena duduk di kursi kekuasaan. Kursi itu milik rakyat. Retak tanganmu menjadi pimpinan bukan berarti kau bebas bersikap semena-mena,” tegas Zoel Kenedi.


Menurutnya, seorang pemimpin harus sadar bahwa jabatan itu amanah, bukan alat untuk merendahkan orang lain. Jika seorang jurnalis dan aktivis yang menjalankan tugasnya untuk mengawasi pemerintah justru dihina, maka kita harus bertanya: ada apa yang ditutup-tutupi?


Aceh Tenggara dikenal sebagai tanah metuwah tanah yang kaya nilai budaya, adat, dan kearifan lokal. Tapi nilai-nilai ini akan perlahan hilang jika masyarakat dan terutama para pemimpinnya tidak lagi menjunjung tinggi budi pekerti, sopan santun, dan etika.


LSM Kaliber mengingatkan, jika perilaku pimpinan daerah terus dibiarkan tanpa koreksi, maka bukan tidak mungkin generasi muda akan tumbuh dalam budaya kasar, arogan, dan apatis terhadap nilai-nilai luhur. Dan itu menjadi awal dari kemunduran sosial dan moral daerah.


Pemimpin yang baik bukan hanya dilihat dari pembangunan fisik atau program kerja, tetapi dari sikap, tutur kata, dan kemampuannya menjaga martabat semua pihak. Jika seorang pemimpin gagal menjaga bahasanya, maka sesungguhnya ia sedang merusak fondasi kepercayaan masyarakat.


Oleh: Ketua LSM Kaliber Aceh, Zoel Kenedi

PGE Airlines Maskapai Rasa Partai

 



LTN, Opini| AKHIRNYA ACEH punya bandara baru. Bandara Point A namanya, terletak strategis di Lhoksukon, Aceh Utara. Tak hanya itu, PT Pema Global Energi (PGE) juga meluncurkan pesawatnya sendiri. Sebuah langkah besar, katanya, menuju kemandirian energi dan logistik industri migas. Tapi tunggu dulu jangan buru-buru “beli tiket”. Karena penerbangan ini bukan sembarang penerbangan. Ini bukan maskapai biasa. Ini adalah PGE Airlines  Maskapai Rasa Partai.


Lihatlah ke dalam kokpit perusahaan. Pilotnya berganti tiap kali gubernur baru naik podium; apakah itu gubernur definitif atau yang hanya menjabat sebentar (Pj). Kopilotnya boleh mantan caleg, caleg gagal, kadang relawan, kadang ovonturir politik, bekas anggota DPR Aceh yang tak dipilih rakyat lagi, atau bisa saja kolega senior dari masa kampanye.


Penumpangnya? Tentu saja para loyalis. Kursi kelas satu penuh oleh orang-orang yang lebih akrab dengan janji elektoral daripada jargon migas. Mereka duduk di kelas ekonomi, itupun tanpa sabuk pengaman. Siap dikeluarkan kapan saja, jika tak menyanyikan lagu yang sama dengan sang nakhoda politik.

Baca jugaKepala Lingkungan Guncang Medan Gara Gara

Setiap ganti gubernur, gerbong diganti!


Bukan evaluasi kinerja, bukan akuntabilitas, tapi hanya dibutuhkan loyalitas atau penjulur lidah. Tak heran, PGE seperti rumah kontrakan: penghuninya sementara, interiornya dirombak sesuai selera penguasa baru. Bahkan cermin pun diganti, agar yang terlihat hanya pantulan kekuasaan di eranya. Jika buruk rupa cermin pun siap dibelah.


Dulu katanya mau dikelola secara profesional. Bahkan sudah ambil alih WK B dari Pertamina Hulu Energi. Sudah ada kontrak gas dengan PIM, sudah bagi 10% Participating Interest ke BUMD. Tapi apa gunanya aset strategis kalau manajemen seperti warung kopi? Duduk dulu, siapa tahu dapat jabatan. Ngopi dulu, mungkin besok jadi komisaris.


Melihat opera kampung (an) ini investor pasti tersenyum. Tapi senyumnya mirip orang yang baru saja ditawarkan saham tambang di atas tanah longsor. Tak ada kepastian hukum. Hari ini Dirut A, besok Dirut B. Belum sempat tanda tangan MOU, sudah disuruh ulang dari awal karena yang menandatangani sudah bukan bagian dari “kelompok penguasa.” Jika begini caranya, bukan hanya investasi yang kabur menjauh, tapi juga akal waras.


Peresmian bandara kemarin disambut dengan tepung tawar. Simbol keselamatan dan keberkahan, kata ulama. Tapi tak ada ritual yang bisa menyelamatkan perusahaan yang setiap harinya dicekik oleh kepentingan sempit dan udik itu. Mau tambah pesawat? Silakan. Tapi selama manajemennya masih ditentukan lewat "rapat elite" daripada rapat kerja, jangan harap penerbangan ini menuju masa depan. Bisa-bisa, mendarat darurat di padang politik tak bertuan.


PGE mestinya jadi mercusuar. Tapi saat ini lebih mirip mercusuar yang lampunya diganti tiap musim kampanye. Visi besarnya memang melambung tinggi. Tapi pelaksanaannya masih pakai “sistem hajatan” yang penting rame, yang penting bagi-bagi kursi, yang penting ada cuan.


Sungguh, di negeri yang serius membangun energi, jabatan direksi ditentukan oleh rekam jejak dan kinerja. Tapi di Aceh, kadang cukup dengan rekaman WhatsApp dan jejak komentar di grup pendukung sambil senyum-senyum tipis, lalu jilat tapak sandal tuan governor.


Jadi, selamat datang di PGE Airlines. Maskapai dengan satu-satunya rute tetap: dari mimpi menuju kemandirian energi, terjebak ranjau politik penuh ambisi pribadi.

Rabu, 25 Juni 2025

PMII Komisariat UIN Ar-Raniry Menggelar Diskusi Perihal Agama bersama Imam Muda Mesjid Sabang

 


LTN, Banda Aceh| Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia UIN Ar-Raniry (PMII UINAR) akan menggelar diskusi pada tanggal 25 Juni 2025 di Warkop Bos Kupi,Kuta Alam,Banda Aceh.


Kegiatan diikuti oleh para tamu undangan dari PMII USM dan Organisasi Mahasiswa yang lain.Ketua Panitia Pelaksana Diskusi, Sahabat Muhammad Afif Irvandi El Tahiry, dalam keterangannya mengatakan bahwa diskus ini membahas tema “Pergaulan Kaum Muda Mudi di Zaman Milenial Ini”.


Tujuan diskusi adalah agar mahasiswa mengetahui pergaulan yang sangat elit dan meluas di zaman milenial ini.Semakin berubah zaman, maka semakin berubah zaman sistem pergaulan dan cara berkomunikasi.“Secara umum, peserta adalah mahasiswa dari setiap perwakilan kampus yang memiliki komisariat PMII-nya,” ujarnya.


Narasumber diskusi PMII UIN Ar-Raniry adalah Tuan Guru Tgk. Muchtar Andika merupakan ahli dalam bidang Agama serta Imam Muda pada Mesjid Sabang. Menggunakan Tema Diskusi“Pergaulan Kaum Muda Mudi di Zaman Milenial Ini”.


Beliau mengatakan, di zaman yang sudah canggih akan teknologi serta alat-alat yang lainnya,harusnya kita bisa memilah memilih mana yang harus kita gunakan secara penuh dan mana hal yang secukupnya saja. Jikalau kita mengikuti akan hawa nafsu pada zaman ini, bisa saja kita akan hancur dan lenyap sebab terlalu Cinta akan pada dunia. 


Ia menambahkan, disini kita butuh ilmu Tasawwuf atau Akhlak agar kita bisa melihat dari kacamata ilmu ini, tidak semua hal yang canggih dalam zaman ini kita harus memiliki nya, semua itu tergantung kebutuhan dan juga manfaat yang dibutuhkan oleh seseorang individu. Pungkasnya".

_______________________________________


Selasa, 24 Juni 2025

Opini Perpandean Dari Tanah Kluet, Aceh Selatan

 


LTN, Gampong Alai | Perpandean salah satu bahasa dari tanah Kluet Kabupaten Aceh Selatan, pande sendiri merupakan tempat berkumpul para pemuda pada saat acara pernikahan, sunat rasul dan tempat acara masyarakat meninggal dunia.



Perpandean sendiri tempat membuat makanan dan minuman lalu disajikan kepada para tamu undangan yang datang pada saat acara pesta tersebut.

Biasanya di tempat pande tempat berkumpul sekaligus tempat bercerita berbagai macam pembahasannya serta tempat canda tawa bagi pemuda.


Di daerah Kluet sangat khas dengan perpandean tersebut biasanya di pande sendiri di hiasi musik agar tidak ngantuk pada saat di pande.


Biasanya tuan rumah menyiapkan berbagai macam persiapan agar tamu undangan dan yang menjaga perpandean bisa menikmati dengan baik.


Apabila ada sanggahan terkait opini perpandean ini boleh dikomen.


Penulis Fauzi Miswar

Senin, 23 Juni 2025

Ketua Bidang Kesejahteraan Masyarakat Himpunan Mahasiswa Aceh Besar, Abdul Aziz Al Asyi: “Jika Aceh Merdeka, Siapa yang Diuntungkan? Rakyat Jelata atau Kaset yang Lama?”

 


LTN, Banda Aceh | 23 Juni 2025 Ketua Bidang Kesejahteraan Masyarakat Himpunan Mahasiswa Aceh Besar (HIMAB), Abdul Aziz Al Asyi, mengutarakan pandangannya terkait wacana yang kembali mencuat tentang kemerdekaan Aceh. Dalam pernyataannya, ia menyoroti siapa sebenarnya yang paling diuntungkan jika Aceh benar-benar merdeka rakyat jelata atau justru elit lama yang kembali berkuasa.


“Pertanyaannya sederhana: jika Aceh merdeka, siapa yang akan paling diuntungkan? Apakah rakyat kecil yang selama ini hidup dalam keterbatasan, atau justru ‘kaset lama’ yang kembali diputar, mereka-mereka yang sudah pernah duduk di atas kekuasaan dan tak membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan masyarakat?” ujar Abdul Aziz dalam diskusi internal HIMAB, Senin,(23/6/2025).


Menurut Aziz, isu kemerdekaan seharusnya bukan lagi menjadi wacana romantis masa lalu, tetapi dibahas secara objektif dan kritis. Ia menilai bahwa selama ini banyak wacana kemerdekaan yang diangkat tanpa menyentuh akar masalah rakyat Aceh—yakni kemiskinan, pengangguran, dan akses pendidikan serta kesehatan yang belum merata.


“Rakyat jangan terus dibuai oleh simbol dan jargon perjuangan. Kita harus bertanya, apa yang berubah setelah damai? Apa yang akan berubah jika merdeka? Jangan sampai rakyat hanya dijadikan alat politik, sementara hasilnya dinikmati oleh segelintir elit yang hanya ganti baju tapi tetap satu lingkaran,” tambahnya.


Sebagai pengurus bidang kesejahteraan masyarakat, Abdul Aziz menekankan bahwa perjuangan yang paling relevan saat ini adalah memastikan keadilan sosial benar-benar tercapai. Ia mengajak generasi muda Aceh untuk lebih fokus pada pembangunan ekonomi, pendidikan, dan penguatan kapasitas masyarakat daripada sekadar wacana politik identitas.


“Rakyat butuh makan, pendidikan, pekerjaan, bukan hanya narasi besar yang tidak menyentuh realita.


Baca juga : Berngi Mekacar, Tradisi Khitan Sarat Makna di Kluet, Aceh Selatan


Jangan sampai sejarah berulang, dan rakyat kembali jadi penonton di tanah sendiri,” pungkasnya.


Pernyataan ini menuai tanggapan beragam dari kalangan aktivis mahasiswa dan tokoh sipil. Banyak yang menilai bahwa pandangan kritis seperti ini penting untuk menjaga arah perjuangan agar tetap berpihak pada rakyat.

Kamis, 19 Juni 2025

Kepala Lingkungan Guncang Medan : Nikah Siri Diam-Diam, Surat Pernyataan Dikhianati, Harga Diri Pemko Medan Dipertaruhkan.!

 



LTN, MEDAN | Woy, ini Medan Bung.!. Bukan film sinetron Bung, tapi drama nyata yang kini sedang menggelegar di Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan. Dua Oknum Kepala Lingkungan (Kepling) nekat yang diduga melakukan pernikahan siri secara diam-diam, meski telah meneken surat pernyataan sakral untuk tidak menjalin hubungan asmara.


Kini, janji dilanggar, etika dibuang, jabatan dipermainkan.!.


Si Pria berinisial RDL Kepala Lingkungan (Kepling) di Kelurahan Sei Kera Hilir II, dan si Wanita DM Kepala Lingkungan (Kepling) di Kelurahan Pandau Hilir, yang diduga diam-diam telah menikah secara siri.


Padahal, sebelumnya RDL telah menandatangani surat pernyataan : jika menjalin hubungan dengan DM, ia siap diberhentikan dari jabatannya.


Kini, perbuatan mereka jadi bahan gunjingan satu Kecamatan. Bahkan, nama baik Instansi Pemerintah Kota (Pemko) Medan ikut tercoreng.!.


“Ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga penghinaan terhadap komitmen dan integritas seorang Pejabat Lingkungan,” tegas Adi Warman Lubis, Ketua Umum TKN Kompas Nusantara, saat dimintai tanggapan di Kantornya, Rabu, 18 Juni 2025.


Adi Warman Lubis juga menyebutkan, Pemerintah Kota (Pemko) Medan tak boleh tinggal diam. Jika tidak segera bertindak tegas, maka ini bisa menjadi preseden buruk bagi Pemerintahan di tingkat akar rumput.


“Kepala Lingkungan (Kepling) itu wajah terdepan dari Pemerintah. Kalau wajahnya rusak, bagaimana Rakyat bisa percaya,” ucapnya geram.


Masyarakat geram, Instansi Pemerintah tercoreng, etika dikhianati. Warga menuntut Camat Medan Perjuangan dan Wali Kota Medan untuk menindak tegas, bahkan mencopot Jabatan keduanya jika terbukti melanggar sumpah Jabatan dan Etika Publik.

Senin, 16 Juni 2025

PT PEMA dan Mitos “Pembangunan dari Kita, untuk Kita”

 


Oleh: Rahmat Ferdiansyah

Penikmat Kopi 

LTN, Opini | Di sebuah sudut warung kopi Banda Aceh, seorang tua berseloroh sambil menyesap kopi hitam, “Kata mereka PEMA itu singkatan dari Pembangunan Aceh. Tapi kalau aku lihat-lihat, kayaknya lebih cocok jadi Perusahaan Eksklusif Milik Atasan.” Tawa pun pecah. Tapi dalam gelak itu, ada kegelisahan yang tak bisa ditepis: siapa sebenarnya yang menikmati hasil dari perusahaan kebanggaan daerah itu? 


Sebagai BUMD yang konon lahir dari rahim otonomi khusus, PT PEMA seharusnya jadi motor pembangunan ekonomi Aceh, bukan sekadar etalase proyek. Namun, praduga yang beredar di tengah masyarakat hari ini cukup menyakitkan: apakah PEMA benar-benar bekerja untuk rakyat, atau justru menjadi mesin nyaman bagi segelintir elit yang terlalu betah di balik meja AC? 


Rakyat kecil, yang tak pernah merasakan efek langsung dari eksistensi PT ini, hanya mampu menebak-nebak dari jauh. Laporan keuangan tak mudah diakses. Transparansi publik tak pernah menjadi prioritas. Bahkan ketika ditanya, apa saja keuntungan yang sudah diberikan PEMA untuk masyarakat nelayan, petani, dan buruh harian di Pidie, Aceh Timur, atau Aceh Singkil jawaban yang datang justru berputar-putar di ruang seminar, bukan di ladang atau pasar. 


Ada juga praduga bahwa PEMA hanya menjadi tempat "parkir jabatan" bagi nama-nama yang akrab dalam lingkaran kekuasaan. Seolah profesionalisme bukan diukur dari kompetensi, tapi dari kedekatan. Tidak sedikit yang menyebut, gaji manajemen PEMA jauh lebih cepat naik dibanding pertumbuhan ekonomi rakyat. Lucunya, ketika rakyat bertanya "uangnya dari mana?" mereka dijawab dengan istilah-istilah audit yang rumit seakan rakyat tidak cukup cerdas untuk tahu hak mereka sendiri. 

Baca juga : Komedi Pejabat untuk masyarakat yang menderita

Satu lagi yang menarik: proyek-proyek yang dijalankan. Praduga pun berkembang: mengapa banyak proyek justru terkesan dijalankan diam-diam, tanpa partisipasi publik, tanpa evaluasi terbuka? Beberapa kontrak kerjasama, kabarnya, bahkan lebih banyak menguntungkan pihak luar daripada menghidupkan ekonomi lokal. Kalau pun benar ada keuntungan, entah mengapa Aceh tetap terasa miskin. 


Bisa jadi, PT PEMA memang sedang bekerja keras. Tapi yang terlihat dari luar, justru gedung tinggi, kendaraan dinas licin, dan rapat tanpa hasil. Tidak ada salahnya rakyat bersuara dengan praduga. Sebab di negeri ini, sering kali praduga justru lebih jujur dari laporan tahunan. 


Dan jika PEMA marah terhadap praduga ini, mungkin sudah saatnya mereka menjawab dengan transparansi bukan dengan klarifikasi yang hanya memoles luka.

Sabtu, 14 Juni 2025

Empat Pulau Aceh Masuk Sumut, KOPRI PKC PMII Aceh Dukung Pemerintah Aceh, Nyatakan Penolakan Tegas

 



LTN, Banda Aceh | Polemik pengalihan status empat pulau tak berpenghuni dari Aceh ke Sumatera Utara  yang tertuang dalam Kepmendagri No. 300.2.2-2138 tahun 2025, yang terus bergulir dan memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat. 


Kali ini, Koprs Pergerakan Mahasiswa Isalam Indonesia (PMII) Putri atau KOPRI PKC PMII Aceh secara tegas menyuarakan sikap menolak keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang dinilai cacat prosedural dan berpotensi menggerus semangat otonomi khusus Aceh.


Ketua KOPRI PKC PMII Aceh, Desi Hartika, menyebut kebijakan pemindahan administratif Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang ke wilayah Sumut dilakukan tanpa melalui kajian holistik, tanpa partisipasi publik, dan tanpa mempertimbangkan dampak strategis terhadap kedaulatan sumber daya Aceh.


“Perubahan status ini bukan sekadar teknis administratif. Ini menyentuh jantung identitas dan kedaulatan Aceh. Tanpa kajian sejarah, ekologi, ekonomi, dan tanpa melibatkan publik Aceh, kebijakan ini sangat bermasalah secara hukum maupun moral,” tegas Desi dalam pernyataan resminya, Jumat (13/6).


Desi menyebut kebijakan Kemendagri sebagai bentuk kesalahan administratif yang tidak boleh mengorbankan kedaulatan Aceh. Oleh karena itu, KOPRI PKC PMII Aceh menyampaikan tiga tuntutan utama sebagai langkah korektif terhadap keputusan tersebut:


1. Pencabutan segera regulasi pemindahan pulau oleh Mendagri,


2. Lakukan peninjauan ulang oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) terhadap peta yang menempatkan pulau-pulau itu ke Sumut.


3. Keterbukaan data potensi sumber daya alam, termasuk nikel dan migas, yang terdapat di empat pulau tersebut.


Lebih lanjut, Desi menyerukan seluruh elemen masyarakat Aceh untuk tetap rasional dan tidak terprovokasi, namun aktif mengawal kebijakan ini agar tidak menjadi celah perampasan sumber daya.


“Pulau-pulau itu mungkin tidak berpenghuni, tapi mereka menyimpan napas sejarah Aceh dan masa depan anak cucu kita. Kesalahan kebijakan seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut, karena dapat meruntuhkan kepercayaan rakyat pada negara,” tegasnya.

Baca juga  | Pulau-Pulau Aceh "Dicaplok" Sumut? PMII Aceh Desak Gubernur Ungkap Alasan Persetujuan

                       Bara di Perbatasan: Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut dan Bayang-Bayang Kepentingan "Nasional"

                        Mahasiswa Sumut Kecam Sikap Pemprov Soal Empat Pulau Sengketa: Penjajahan Atas Nama Negara

                          Tak Cukup 'Tak Perlu Diperbesar': Demisioner Ketua Umum HMPS-PFS Desak Pemerintah Tuntaskan Batas 4 Pulau Aceh Singkil

Sebagai bentuk komitmen, KOPRI PKC PMII Aceh juga mendesak diberlakukannya moratorium kebijakan hingga dibentuk tim verifikasi batas wilayah yang bersifat independen dan melibatkan unsur pemerintah pusat dan daerah.


“Kami, Kopri PKC PMII Aceh, akan berdiri di garda terdepan untuk memastikan hak Aceh dikembalikan. Dan saya pribadi siap mengawal setiap proses hukum dan administratif yang berlaku,” ungkap Desi.



Pernyataan ini menjadi bagian dari konsolidasi gerakan moral masyarakat sipil Aceh yang terus menuntut keadilan dalam pengelolaan wilayah dan sumber daya, serta mengingatkan bahwa setiap keputusan administratif harus menghormati sejarah, identitas, dan hak konstitusional masyarakat daerah.


Dan kepada pemerintah Aceh, Desi meminta, jika Pemerintah Aceh ingin mengubah keadaan, mereka harus mengangkat isu ini menjadi prioritas strategis, membentuk task force batas wilayah, dan menggunakan segala jalur administratif, politik, dan sosial untuk menekan pemerintah pusat.


“Dengan begitu, Realisasi UUPA dan MoU Helsinki bisa terealisasi dengan benar dan Marwah  daerah Aceh dipulihkan” tutupnya

_________________________________________



Jumat, 13 Juni 2025

Mahasiswa Sumut Kecam Sikap Pemprov Soal Empat Pulau Sengketa: Penjajahan Atas Nama Negara!

 




LTN, Sumatera Utara, 13 Juni 2025 Penetapan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang menyatakan bahwa empat pulau-Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang-masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara menuai kritik keras dari kalangan mahasiswa, termasuk dari Fualdhi Husaini Hasibuan, mahasiswa asal Sumatera Utara sendiri.


Dalam pernyataannya, Fualdhi menegaskan bahwa klaim atas keempat pulau tersebut oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara merupakan bentuk pengabaian terhadap sejarah, fakta sosial, dan jejak hidup masyarakat Aceh yang telah lama bermukim dan mengelola wilayah tersebut.


"Empat pulau itu bukan kosong. Ada musala, dermaga, kebun, hingga makam masyarakat Aceh yang ditemukan oleh tim Kemendagri tahun 2022. Tapi semua itu seperti dihapus begitu saja dalam keputusan politik dan administratif. 

Ketika pemerintah berdalih soal verifikasi spasial dan hasil survei teknis, kita tidak boleh lupa bahwa di balik pulau-pulau itu ada masyarakat Aceh yang menanam, beribadah, bahkan dimakamkan di sana. Itu bukan titik koordinat; itu adalah kehidupan!," ungkap Fualdhi.


Menurutnya, sikap Pemprov Sumut yang cenderung aktif dalam mempertahankan hasil keputusan Kemendagri menunjukkan ambisi yang tidak sejalan dengan semangat keadilan antarwilayah.

Baca juga | Bara di Perbatasan: Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut dan Bayang-Bayang Kepentingan "Nasional"

                     Pulau-Pulau Aceh "Dicaplok" Sumut? PMII Aceh Desak Gubernur Ungkap Alasan Persetujuan

Pernyataan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang mengatakan "jika ada sumber daya di pulau-pulau tersebut bisa kita kelola bersama-sama" serta pernyataan Ketua DPRD Sumut Erni

Arniyanti bahwa "kita harus mempertahankan juga ya" dinilai Fualdhi sebagai bentuk pengakuan tidak langsung atas niat ekspansionis.


"Bila memang tak berniat mengambil, seharusnya tidak ada narasi tentang 'pengelolaan bersama apalagi 'mempertahankan'. Itu bahasa kekuasaan, bukan bahasa solidaritas antarwilayah," jelasnya.


Fualdhi menolak pendekatan hukum sebagai satu-satunya jalan penyelesaian. Ia menyebut jalur hukum hari ini cenderung menjadi stempel atas ketimpangan struktural yang dilegalkan atas nama negara. 


"Mengutip Tan Malaka: Tidak ada tawar menawar dengan maling yang menjarah di rumah kita sendiri. Jalur hukum hanya masuk akal ketika negara berdiri netral. Ketika negara menjadi alat pembenar penjajahan administratif, maka hukum hanya jadi catatan akhir dari pengkhianatan sejarah," katanya.


Fualdhi juga mempertanyakan dasar moral dari langkah Pemprov Sumut. Ia mengajak publik untuk lebih kritis terhadap narasi 'pembangunan' yang dikemas dalam bentuk perluasan administratif.


"Mengambil pulau dari rakyat lain bukan pembangunan. Itu kolonialisme bergaya baru," tegasnya.


Ia menambahkan bahwa sebagai anak muda dari Sumatera Utara, dirinya justru kecewa karena

pemerintah daerah terkesan tidak fokus pada pembangunan internal, tapi malah berlomba memperluas wilayah tanpa kejelasan arah manfaatnya.


"Sumatera Utara masih punya segudang persoalan internal. Dari infrastruktur desa yang rusak,ketimpangan kota-desa, hingga pengelolaan anggaran yang tidak merata. Lebih baik kita urus itudaripada bernafsu pada empat pulau yang jelas-jelas secara historis milik rakyat Aceh," katanya.


Rilis ini menegaskan bahwa sikap diam atau pembenaran terhadap keputusan yang salah bukanlah netralitas, tapi keberpihakan terhadap kekuasaan yang menindas.


 Dengan gaya khas gerakan mahasiswa, Fualdhi menyatakan bahwa wilayah bukan hanya soal garis di peta, tetapi juga soal ingatan, sejarah,dan keadilan sosial.

_________________________________________



Pelis Jangan Rakus Terhadap Tambang Nikel di Raja Ampat

 



LTN, Raja Ampat| Dilema tambang nikel semakin di serukan, bahkan menjadi trending topik di Indonesia.


Aktivitas pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi sorotan dan dikecam publik. Musababnya, aktivitas tambang nikel di wilayah itu terindikasi merusak alam.


Ada empat perusahaan tambang nikel Raja Ampat yang diawasi pemerintah, yakni PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).


Masyarakat Papua menyuarakan tambang dan hilirisasi nikel tidak hanya merusak hutan, laut, dan udara tapi juga mencederai kehidupan masyarakat dan keindahan alam. 


Kerakusan yang di buat oleh pemerintah terhadap tambang nikel di Raja Ampat membuat ekosistem serta merusak rumah bagi hewan disana serta merusak pariwisata yang seharusnya bagus akan tetapi di rusak oleh tangan pemerintah.


Kerusakan Alam akibat tambang nikel di Raja Ampat telah merusak lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alam musnah.


Penambangan terjadi ditiga pulau yakni pulau Gag, pulau Kawe, dan pulau Manuran.


Raja Ampat merupakan kawasan konservasi perairan yang menyimpan lebih dari 75% habitat spesies karang di dunia.


Penambangan nikel ini dianggap tidak sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2007 yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berwawasan global, yang kemudian diperbarui menjadi UU No.1 Tahun 2014 mengatur tentang pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian wilayah pesisir dan pulau -pulau kecil.


Salah satu aktivis muda turut berkomentar " kita nonton timnas Indonesia vs Jepang kemarin timnas di bantai 6-0, kalian pada sadar gak, kekalahan dari timnas jepang tersebut pengalihan isu terkait kasus tambang nikel di Raja Ampat sehingga timnas Indonesia selalu di perbincangkan dan kasus Raja Ampat di Papua Barat Daya, seperti bulan kemarin pada saat timnas Indonesia vs Australia di kualifikasi piala dunia 2026 kemarin timnas Indonesia kalah 5-1 sehingga kasus RUU TNI sedikit demi sedikit kasus tersebut mulai gak di bahas lagi." Ujar Deavi


Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tambang nikel yang dibuat pemerintah sehingga rumah bagi hewan satwa disana dirusak dengan gampang begitu saja. 


Memang ucapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia Operasi Tambang GAG Nikel di Raja Empat Masih Disetop dan masih di evakuasi. Apakah perkataan beliau bisa kita percaya!!


Coba tulis di kolom komentar pendapat Anda.

____________________________________


Sabtu, 07 Juni 2025

Cerita Berlibur Bersama Keluarga Tapi Hanya Beberapa Menit Saja, Hahah!


LantasTribunNews, Opini|Hari raya Idul Adha 1446 H telah usai dan selanjutnya kita akan berlibur bersama keluarga di pantai Kuala Ba'u Aceh Selatan.


Pantai Kuala Ba'u merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh masyarakat setempat di Aceh Selatan khususnya pemuda dan pemudi. 


Tempat ini menyajikan pemandangan laut yang terhampar luas di samudera Hindia serta di lengkapi dengan pohon kelapa dan pohon cemara menjadikan tempat ini menjadi salah satu wajib di kunjungi.



Setibanya di pantai Kuala Ba'u, kami makan- makan yang kami bawa dari rumah berupa mie, ayam goreng, nasi goreng, semangka dan masih banyak lagi.


Akan tetapi lucunya sudah 30 menit kami menghabiskan waktu berlibur bersama keluarga tiba-tiba awan mendung, air laut pasang hingga ke bibir pantai lalu turunlah hujan deras di sertai angin yang cukup kuat sehingga kami berkemas pulang dari berlibur hari raya Idul Adha tahun ini.






Kamis, 05 Juni 2025

Malam Takbiran Idul Adha 2025 Sambil Nonton Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026

 


LantasTribunNews, Kota Fajar |Malam takbiran Idul Adha berlangsung pada malam jelang hari raya kurban. Idul Adha sendiri berlangsung setiap 10 Zulhijah, tahun ini momen tersebut bertepatan dengan Jumat, 6 Juni 2025.


Gema takbiran berkumandang di setiap daerah, tak terkecuali di provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Selatan, Kecamatan Kluet Utara.



Gemburuh marcun mulai dinyalakan, setelah melantunkan takbiran, membakar marcun lalu di imbangi nonton bola kualifikasi piala dunia 2026 di warung Terapung banyak masyarakat Kota fajar antusias menyaksikan pertandingan tersebut.


Pertandingan tersebut menjadi ajang hidup mati bagi kedua kesebelasan antara Indonesia vs China wajib menang untuk menjaga asa masuk Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 setelah Australia menang 1-0 atas Jepang ( 05/06/2025)


Malam ini laga hidup mati serta masyarakat Indonesia tak terkecuali Provinsi Aceh, mendoakan agar timnas Indonesia mendapatkan hasil yang maksimal.


Kalau mendapatkan hasil maksimal nantinya masyarakat Indonesia paginya bisa menikmati hari ini raya Idu Adha dengan gembira.

Selasa, 27 Mei 2025

Objek Wisata Batu Gajah Melaka

 


 LantasTribunNews, Malaka | 
Pernah dengar tentang Batu Gajah Melaka di Gampong Melaka, Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan? Kalau belum, sekarang waktunya tahu. Tempat ini mungkin belum seterkenal pantai-pantai di Aceh, tapi suasananya adem dan cocok banget buat santai sore bareng keluarga.

Objek wisata ini diresmikan langsung oleh Wakil Bupati Aceh Selatan, H. Baital Mukadis, SE, pada 28 Januari 2025. Acara peresmiannya cukup meriah, banyak pejabat dari berbagai instansi hadir. Artinya, Batu Gajah memang dapat perhatian dan harapan besar dari pemerintah daerah.

Sekarang, Batu Gajah Melaka sudah jadi tempat nongkrong favorit warga Menggamat. Ada kolam renang buat anak-anak, pondok buat leyeh-leyeh, juga makanan dan minuman ringan. Ditambah lagi, lokasinya di dekat sungai yang airnya sejuk dan bikin betah berlama-lama.

Sayangnya, ada satu hal yang bikin tempat ini belum sepenuhnya nyaman: fasilitas pendukungnya belum maksimal. Misalnya, toilet umum masih minim, dan tempat sampah juga belum tersedia dengan baik. Padahal, dua hal ini penting banget untuk menjaga kenyamanan dan kebersihan.

Kalau boleh usul, pemerintah setempat bisa mulai fokus memperbaiki hal-hal kecil seperti itu. Nggak perlu nunggu besar dulu. Wisata yang nyaman itu bukan cuma soal pemandangan, tapi juga soal fasilitas dan kebersihan. Apalagi kalau mau menarik wisatawan dari luar daerah, semuanya harus dipikirkan matang-matang.

Batu Gajah Melaka punya potensi besar. Alamnya sudah cantik, tinggal didandani sedikit lagi biar benar-benar jadi kebanggaan Aceh Selatan. Dan yang paling penting, tempat ini bisa jadi ruang publik yang sehat, aman, dan menyenangkan untuk semua kalangan.

Redaksi

PENERBIT:LantasTribun News

DEWAN REDAKSI: Syahrul Amin S.Sos

ACT & Sekertaris LantasTribunNews: Mauladiansya 

Alamat Redaksi

Jl. Kedai Runding Durian Kawan, Tanah Munggu,
Gampong Durian Kawan, Kecamatan Kluet Timur,
Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Kode Pos 32771
Telepon: 081367638550

Redaksi menerima kiriman tulisan dari pembaca. Tulisan berupa Berita, Opini, Feature, Tajuk, Detik Peristiwa, Kritikan Pemerintah, Politik, Objek wisata, Sejarah, Kesejahteraan, Olahraga dan tulisan bebas lainnya.

Kirimkan ke Email: LantasTribunNews@gmail.com dengan menyertakan biodata diri.



Selasa, 13 Mei 2025

Komedi Pejabat DPR Untuk Masyarakat Tercinta

 




LantasTribunNews, Opini | Di balik gedung megah DPR, kursi empuk dan ruangan yang sejuk ada hubungan romantis antara pejabat konglomerat dan oligarki yang jarang kita lihat. 

 Konglomerat perlindungan bisnis, tenang ada pasal yang bisa dititipkan pejabat butuh dana kampanye cukup beri kode maka amplop pun datang dengan ongkir gratis.

 Anggota DPR yah tinggal sahkan saja undang undangannya, sembari ngopi sambil update story untuk para pemilih yang mempercayainya. 

 Di Indonesia politisi tak perlu visi cukup relasi, konglomerat tak perlu inovasi cukup lobi dan cukup berdoa di balik gedung megah DPR semuanya senang bisnis lancar dan jabatan pun aman. 

 Kalau rakyat bagaimana, rakyat diminta untuk terus bersyukur dan pantang menyerah menghadapi kehidupan yang sulit ini. 

 Demokrasi terlihat hanya sekedar formalitas dan pemilu pun seperti ajang lomba baliho yang paling norak inilah simbiosis mutualisme ala negeri Konoha bukan antara rakyat dan dan wakilnya ya, tapi para elit dan sponsornya. 

 Selamat datang di republik kolaborasi edisi spesial dimana semuanya demi kepentingan bersama, tapi bukan untuk kepentinganmu ya. 
 -------------------------------------------------------------  

Redaksi

PENERBIT:LantasTribun News

DEWAN REDAKSI: Syahrul Amin S.Sos

ACT & Sekertaris LantasTribunNews: Mauladiansya 

Alamat Redaksi

Jl. Kedai Runding Durian Kawan, Tanah Munggu,
Gampong Durian Kawan, Kecamatan Kluet Timur,
Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Kode Pos 32771
Telepon: 081367638550

Redaksi menerima kiriman tulisan dari pembaca. Tulisan berupa Berita, Opini, Feature, Tajuk, Detik Peristiwa, Kritikan Pemerintah, Politik, Objek wisata, Sejarah, Kesejahteraan, Olahraga dan tulisan bebas lainnya.

Kirimkan ke Email: LantasTribunNews@gmail.com dengan menyertakan biodata diri.

Nurhayati Dapat Rumah Bantuan Layak Huni

  Nurhayati Dapat Rumah Bantuan Layak Huni  LTN, Bireuen | Nurhayati (64), warga Gampong Geulanggang Teungoh, Kecamatan Kota Juang, Kabupate...