Tampilkan postingan dengan label prodi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label prodi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 Juni 2025

PGE Airlines Maskapai Rasa Partai

 



LTN, Opini| AKHIRNYA ACEH punya bandara baru. Bandara Point A namanya, terletak strategis di Lhoksukon, Aceh Utara. Tak hanya itu, PT Pema Global Energi (PGE) juga meluncurkan pesawatnya sendiri. Sebuah langkah besar, katanya, menuju kemandirian energi dan logistik industri migas. Tapi tunggu dulu jangan buru-buru “beli tiket”. Karena penerbangan ini bukan sembarang penerbangan. Ini bukan maskapai biasa. Ini adalah PGE Airlines  Maskapai Rasa Partai.


Lihatlah ke dalam kokpit perusahaan. Pilotnya berganti tiap kali gubernur baru naik podium; apakah itu gubernur definitif atau yang hanya menjabat sebentar (Pj). Kopilotnya boleh mantan caleg, caleg gagal, kadang relawan, kadang ovonturir politik, bekas anggota DPR Aceh yang tak dipilih rakyat lagi, atau bisa saja kolega senior dari masa kampanye.


Penumpangnya? Tentu saja para loyalis. Kursi kelas satu penuh oleh orang-orang yang lebih akrab dengan janji elektoral daripada jargon migas. Mereka duduk di kelas ekonomi, itupun tanpa sabuk pengaman. Siap dikeluarkan kapan saja, jika tak menyanyikan lagu yang sama dengan sang nakhoda politik.

Baca jugaKepala Lingkungan Guncang Medan Gara Gara

Setiap ganti gubernur, gerbong diganti!


Bukan evaluasi kinerja, bukan akuntabilitas, tapi hanya dibutuhkan loyalitas atau penjulur lidah. Tak heran, PGE seperti rumah kontrakan: penghuninya sementara, interiornya dirombak sesuai selera penguasa baru. Bahkan cermin pun diganti, agar yang terlihat hanya pantulan kekuasaan di eranya. Jika buruk rupa cermin pun siap dibelah.


Dulu katanya mau dikelola secara profesional. Bahkan sudah ambil alih WK B dari Pertamina Hulu Energi. Sudah ada kontrak gas dengan PIM, sudah bagi 10% Participating Interest ke BUMD. Tapi apa gunanya aset strategis kalau manajemen seperti warung kopi? Duduk dulu, siapa tahu dapat jabatan. Ngopi dulu, mungkin besok jadi komisaris.


Melihat opera kampung (an) ini investor pasti tersenyum. Tapi senyumnya mirip orang yang baru saja ditawarkan saham tambang di atas tanah longsor. Tak ada kepastian hukum. Hari ini Dirut A, besok Dirut B. Belum sempat tanda tangan MOU, sudah disuruh ulang dari awal karena yang menandatangani sudah bukan bagian dari “kelompok penguasa.” Jika begini caranya, bukan hanya investasi yang kabur menjauh, tapi juga akal waras.


Peresmian bandara kemarin disambut dengan tepung tawar. Simbol keselamatan dan keberkahan, kata ulama. Tapi tak ada ritual yang bisa menyelamatkan perusahaan yang setiap harinya dicekik oleh kepentingan sempit dan udik itu. Mau tambah pesawat? Silakan. Tapi selama manajemennya masih ditentukan lewat "rapat elite" daripada rapat kerja, jangan harap penerbangan ini menuju masa depan. Bisa-bisa, mendarat darurat di padang politik tak bertuan.


PGE mestinya jadi mercusuar. Tapi saat ini lebih mirip mercusuar yang lampunya diganti tiap musim kampanye. Visi besarnya memang melambung tinggi. Tapi pelaksanaannya masih pakai “sistem hajatan” yang penting rame, yang penting bagi-bagi kursi, yang penting ada cuan.


Sungguh, di negeri yang serius membangun energi, jabatan direksi ditentukan oleh rekam jejak dan kinerja. Tapi di Aceh, kadang cukup dengan rekaman WhatsApp dan jejak komentar di grup pendukung sambil senyum-senyum tipis, lalu jilat tapak sandal tuan governor.


Jadi, selamat datang di PGE Airlines. Maskapai dengan satu-satunya rute tetap: dari mimpi menuju kemandirian energi, terjebak ranjau politik penuh ambisi pribadi.

Nurhayati Dapat Rumah Bantuan Layak Huni

  Nurhayati Dapat Rumah Bantuan Layak Huni  LTN, Bireuen | Nurhayati (64), warga Gampong Geulanggang Teungoh, Kecamatan Kota Juang, Kabupate...