Oleh: Ramadhan Al Faruq
LTN, Opini |
Ganti menteri, ganti kebijakan. Sarjana membludak, pengangguran menumpuk. Gelar akademik menjulang, tapi moral bangsa tak kunjung bangkit. Di jalanan teriak perlawanan, di parlemen jadi babu kekuasaan. Pendidikan jalan terus, tapi perbudakan tak juga usai. Inilah negeri kita!
POTONGAN-POTONGAN kalimat itu bukan cuma bentuk satire, tetapi potret getir yang terus terulang dari generasi ke generasi. Jika semua dikumpulkan, benang merahnya terang: pendidikan kita gagal melahirkan manusia merdeka yang memerdekakan.
Mungkin Anda tak sepakat, tapi tak bisa menampik kenyataan bahwa bangsa ini sedang rusak mentalnya; di segala lini sosial, politik, hukum, pendidikan, budaya, bahkan ekonomi yang kini berada di tubir jurang kegelisahan.
Sudah terlalu lama bangsa ini digerogoti kerakusan orang-orang terdidik yang tak pernah selesai dididik menjadi manusia seutuhnya. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bukan lagi kejahatan tersembunyi, melainkan menjadi ritus harian dari pusat kekuasaan hingga ruang kelas. Dari gedung DPR sampai meja guru, aroma pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan semakin menyengat.
Lalu untuk siapa pendidikan ini digerakkan? Ke mana bangsa ini hendak dibawa?
Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan kembali menggulirkan narasi "pembaruan" dengan mengusung konsep Delapan Dimensi Profil Pelajar Pancasila. Kampanye besar diluncurkan, seminar diselenggarakan, buku panduan dicetak. Seolah angin segar sedang bertiup, membawa harapan akan lahirnya generasi unggul di masa depan.
Tapi delapan dimensi ini tak boleh berhenti sebagai narasi indah di atas kertas. Ia harus menjadi api perlawanan, bukan hanya proyek ganti rezim. Ia harus menjadi cetak biru yang melahirkan manusia kritis, berani melawan kebusukan, bukan hanya kendaraan pemborosan anggaran lewat sosialisasi dari pusat ke daerah.
1. Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan YME
Dimensi ini tak cukup hanya melahirkan generasi berpenampilan religius yang fasih melafalkan ayat-ayat suci. Pendidikan sejati harus menumbuhkan keberanian moral untuk menyatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah; tanpa pandang bulu, sekalipun pelakunya pejabat tinggi. Religiusitas tanpa keberanian melawan ketidakadilan hanyalah topeng belaka.
2. Berkebhinekaan Global (Kewargaan Aktif)
Dimensi ini semestinya menumbuhkan kesadaran bahwa menjadi warga negara berarti berani bersuara. Bukan hanya hafal sila Pancasila, tetapi berani menggugat kebijakan yang menindas rakyat. Menjadi warga negara bukanlah menjadi budak negara. Demokrasi membutuhkan keberanian bertanya, menggugat, bahkan menolak ketika keadilan dipermainkan.
3. Bernalar Kritis
Inilah dimensi yang menjadi rem penting terhadap hegemoni kekuasaan. Generasi yang bernalar kritis akan mampu mencium kebusukan di balik retorika pembangunan, menggugat jargon digitalisasi yang menindas, serta membongkar ketimpangan yang dikemas sebagai pertumbuhan. Mereka akan menjadi duri di tenggorokan para bedebah yang menjarah masa depan.
4. Kreatif
Kreativitas bukan hanya membuat konten lucu yang viral. Ia harus menjadi daya cipta dan daya lawan terhadap kepalsuan, tirani, dan kesewenang-wenangan. Pendidikan yang mencetak pemuja kekuasaan hanya akan memperpanjang perbudakan intelektual. Kita butuh pembaru, bukan pengikut.
5. Kolaboratif
Kolaborasi tak boleh dimaknai sebagai “kerja sama demi proyek penguasa.” Ia harus berarti gotong royong membangun kekuatan rakyat. Pendidikan harus menumbuhkan generasi yang mandiri, yang tetap tegak walau sistem menyingkirkan mereka, yang tetap berjalan lurus walau arus menentangnya.
6. Mandiri
Kemandirian bukan sekadar bisa hidup sendiri. Ia adalah keberanian untuk tidak ikut arus, tidak menjilat kekuasaan, tidak tergantung pada birokrasi. Mandiri berarti setia pada nilai, bukan pada kenyamanan.
7. Sehat Fisik dan Mental
Dimensi ini tak cukup hanya melahirkan generasi bertubuh atletis. Yang lebih mendesak adalah ketahanan mental dalam menghadapi tekanan politik, sosial, dan ekonomi. Mereka yang tak takut dibungkam, tak tumbang saat ditekan, dan tak bisa dibeli, adalah wajah asli manusia sehat di zaman ini.
8. Kemampuan Berkomunikasi
Bukan hanya pintar bicara di podium, tapi berani menyuarakan kebenaran, menggugat ketidakadilan, dan menyebarkan semangat perlawanan. Ini tentang keberanian berkata “tidak” pada kekuasaan, tentang keteguhan bertanya “kenapa?” saat rakyat disakiti dan kebenaran disembunyikan.
Jika delapan dimensi ini dijalankan sepenuh hati, hasilnya bukan sekadar lulusan sekolah atau sarjana. Hasilnya adalah manusia merdeka yang tidak bisa dibeli, tidak bisa ditakut-takuti, dan tidak akan diam ketika rakyat diinjak-injak.
Pendidikan sejati bukan untuk melahirkan budak-budak naif yang taat tanpa nalar, tapi generasi cerdas yang memimpin perubahan. Dan perubahan sejati hanya lahir dari keberanian untuk menolak tunduk pada kebusukan.
![]() |
Penulis Ramadhan Al Faruq |
Islam pernah mengingatkan dengan tegas:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah....”
(QS. Ali Imran: 110)
Artinya, pendidikan harus bermuara pada lahirnya generasi terbaik yang berani memperjuangkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran. Yang melawan kezaliman, membongkar kebiadaban, dan menjaga integritas bangsa dari cengkeraman kekuasaan yang bejat.
Penulis adalah alumni IAIN Ar-Raniry, Juru Bicara Kaukus Peduli Integritas Pendidikan Aceh.