Senin, 07 Juli 2025

Tolak Penambahan 4 Batalyon di Aceh, Mahasiswa UIN Ar-Raniry: “Ini Melanggar MoU Helsinki”

 


LTN, Banda Aceh, 7 Juli 2025 | Rencana pemerintah menambah empat batalyon militer baru di Provinsi Aceh menuai penolakan keras dari kalangan mahasiswa. Salah satu suara kritis datang dari Fauzul Kabir, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, yang menyebut langkah tersebut bertentangan dengan semangat perdamaian dan MoU Helsinki yang telah menjadi dasar rekonsiliasi antara Aceh dan Republik Indonesia.



Menurut Fauzul, penambahan pasukan militer tidak relevan dengan kondisi keamanan Aceh saat ini. “Situasi keamanan di Aceh saat ini dapat dikatakan terkendali. Tidak ada eskalasi konflik yang memerlukan penambahan pasukan bersenjata. Penempatan empat batalyon baru justru berpotensi menciptakan ketegangan baru yang membahayakan proses damai yang telah berlangsung hampir dua dekade,” tegasnya.



Ia menyatakan bahwa rakyat Aceh lebih membutuhkan kehadiran negara dalam bentuk pembangunan yang menyentuh kebutuhan dasar, seperti akses pendidikan, layanan kesehatan, dan lapangan kerja. Bukan dalam bentuk peningkatan kekuatan militer yang bisa menimbulkan trauma baru bagi masyarakat yang pernah mengalami konflik bersenjata.


“Penambahan 4 batalyon bukan solusi untuk masalah Aceh. Kami butuh pembangunan yang menyentuh kebutuhan dasar rakyat, bukan penambahan kekuatan militer yang bisa memicu ketidakpercayaan dan ketegangan di masyarakat,” ujarnya.



Fauzul juga menyinggung bahwa penambahan batalyon tersebut secara jelas bertentangan dengan butir 4.7 dalam perjanjian MoU Helsinki yang ditandatangani antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005 di Helsinki, Finlandia. Dalam butir tersebut disebutkan bahwa jumlah tentara organik yang diizinkan berada di Aceh setelah proses relokasi adalah sebanyak 14.700 personel.



Rencana pembentukan batalyon militer yang tersebar di beberapa wilayah seperti Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil, menurutnya, telah melampaui batas jumlah personel yang disepakati dan bisa mengganggu stabilitas sosial-politik di wilayah yang sedang membangun perdamaian secara berkelanjutan.


Selain itu, keputusan penambahan batalyon ini dinilai melanggar semangat Otonomi Khusus Aceh, yang seharusnya memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengatur kebijakan strategis, termasuk soal keamanan, dengan memperhatikan konteks lokal.



“Pemerintah pusat seharusnya lebih fokus pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat Aceh daripada memperbesar kekuatan militer yang bisa memicu trauma masa lalu. Ini bukan hanya masalah teknis, tapi menyangkut kepercayaan publik terhadap pemerintah,” tambah Fauzul.


Fauzul menegaskan bahwa kalangan mahasiswa dan pemuda Aceh akan terus bersuara menolak kebijakan ini demi menjaga perdamaian yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Ia meminta Pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk bersikap tegas dan tidak diam melihat rencana pusat yang dianggap inkonstitusional dan tidak berpihak pada rakyat.

___________________________________________








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polres Bitung Mengikuti Zoom Ketahanan Pangan dan Penanaman Jagung Serentak Kuartal III

LTN ,BITUNG | Polres Bitung mengikuti kegiatan Zoom Ketahanan Pangan dan Penanaman Jagung Serentak Kuartal III yang dipimpin oleh Ketua Kom...