LantasTribunNews, Gayo Lues – 5 Juni 2025 | Isu keberadaan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di perbatasan Kampung Tingkem dan Kampung Akul, Kecamatan Blangjerango, Kabupaten Gayo Lues kembali menyita perhatian publik, terlebih setelah beredar luas di media sosial. Terbaru, seekor sapi milik warga dilaporkan dimangsa harimau pada malam 4 Juni 2025 di wilayah Kekening (Kekerseng), daerah perbatasan yang langsung bersebelahan dengan hutan.
Kejadian ini disampaikan oleh akun Facebook Burhan Akul, yang secara konsisten mengabarkan perkembangan situasi konflik satwa dan warga di wilayah itu. Burhan menuliskan bahwa ini bukan kali pertama. Pada malam Jumat, 30 Mei 2025 lalu, harimau juga terlihat di wilayah Kertan, hanya sekitar 500 meter dari permukiman warga. Ternak seperti sapi dan kerbau disebut sudah menjadi korban berkali-kali.
“Lagi-lagi, tadi malam kejadian lagi… Apa mau dikata?” tulisnya dalam unggahan yang telah menyebar cepat dan memicu kekhawatiran masyarakat. Ia menyatakan bahwa masyarakat sangat kuatir akan keselamatan mereka, dan meminta dengan sangat kepada Dinas terkait, BKSDA Gayo Lues, serta berbagai LSM dan lembaga lingkungan lainnya untuk tidak tinggal diam. “Harap gere sengkerat, tuakal gere semelah,” tulis Burhan dalam bahasa lokal, yang bermakna “jangan hanya diam dan pasrah”.
Di tengah kegelisahan warga, muncul pula suara keras dari tokoh muda Gayo Lues yang dikenal aktif menyuarakan isu lingkungan dan sosial. Akun Facebook Jack Gayo sebelumnya juga membagikan pandangan yang menuai perhatian publik, dalam unggahan berjudul “Melepas Senja di Batas Kota.”
Jack menyoroti isu pelepasliaran seekor harimau betina yang dinamakan “Senja”, yang sebelumnya ditangkap di Besitang karena berkonflik dengan manusia. Harimau tersebut kemudian dilepas di hutan Gayo Lues. Jack mempertanyakan kebijakan tersebut yang dinilainya tidak adil dan seolah mengorbankan masyarakat Gayo Lues sebagai “penerima masalah”.
“Mungkin itu dilakukan karena masyarakat Gayo dianggap lebih bersahabat dan tak banyak tanya,” tulisnya. Ia menyebut bahwa berbagai propaganda dilakukan untuk meyakinkan warga bahwa harimau itu tidak berbahaya dan tidak akan mengganggu manusia. Namun, kenyataannya, harimau dilepas di kawasan yang dekat dengan kebun warga, dan ini menimbulkan rasa takut serta mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat.
“Kalau memang harimau itu tidak membahayakan warga, kenapa harus ditangkap di Besitang dan dilepaskan ke Gayo Lues? Apakah Gayo Lues cocok dijadikan sebagai kandang harimau?” lanjut Jack. Ia menilai bahwa keselamatan masyarakat desa di Gayo Lues, yang sebagian besar hidup dari hasil kebun dan ladang, seolah tidak menjadi prioritas dalam kebijakan konservasi tersebut.
“Kami tidak membenci hewan,” tulis Jack lebih lanjut, “tapi menurut saya ada ketidakadilan terhadap warga Gayo Lues.” Ia juga menyinggung soal pertumbuhan jumlah penduduk di Gayo Lues yang dalam waktu dekat akan membutuhkan perluasan lahan pertanian dan permukiman. Hal ini dikhawatirkan akan berbenturan dengan kepentingan konservasi jika tidak dikelola dengan adil dan transparan.
Jack mengakhiri tulisannya dengan pernyataan keras: “Kita boleh mencintai hewan, tapi jangan lupa juga mencintai manusia. Berhentilah menjajah kami dengan mengatasnamakan kepedulian.”
Kekhawatiran warga dan suara-suara kritis seperti ini menunjukkan bahwa kebijakan pelepasliaran satwa perlu dievaluasi secara menyeluruh. Apakah Gayo Lues memang menjadi tempat pembuangan harimau bermasalah dari daerah lain? Jika benar, maka ini merupakan bentuk pengabaian serius terhadap hak hidup dan rasa aman masyarakat lokal.
Kini, warga menanti langkah nyata dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dinas terkait, dan para pemangku kebijakan. Mereka berharap konflik ini segera mendapat solusi adil bukan hanya untuk menyelamatkan satwa, tapi juga untuk melindungi manusia yang hidup berdampingan dengan hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar